Anfa
Aulya Fajar. Nama yang tercantum di AKTE kelahiranku. Duduk dibangku Madrasah
Aliyah membuat aku tak lagi pantas menjadi
sosok yang ditimang-timang lagi ketika menangis. Dua bulan dua puluh
hari yang akan datang umurku sudah menginjak 17 tahun, yang kata orang umur
punya KTP dan mulai menginjak masa dewasa. Tapi sepertinya hanya perasaan saja,
aku belum cukup umur jika mengatakan dewasa.
Baiklah,
seringkali ditanya apa yang akan dilakukan nanti kata Bunda . Aku dengan
lantang menjawab, “aku ingin menulis perjalanan hidupku dan menceritakan semua
teman-teman terbaik dalam alur tersebut. Karena aku bangga dapat hidup diantara
mereka.”
Bunda
tersenyum seolah tak percaya melihat aku bersemangat menjawab pertanyaannya.
Sambil mengelus kepalaku, beliau berkata,”Rangkailah huruf-huruf menjadi
kalimat yang indah, sayang.”
Suatu
motivasi besar ketika mama memberi do’a dan restu kepadaku. Walaupun benar, tak
ada dari garis keturunan keluarga yang memegang predikat penulis ataupun alasan
besar tentang masa depan seorang penulis itu suram, tidak pasti, dan pendapat-pendapat
lain yang sebenarnya saya tak bisa terima. Namun, jika protes itu hanya berkoar
dibalut emosi tentu saja tidak mendatangkan kebaikan dan tak mampu merubahnya.
Bersahabat
dengan Juna sejak pertama kali masuk SMA. Keakrabanku dengannya tak diragukan
lagi. Lelaki itu sering kupanggil busuk, tak tahu bagaimana awal muasalnya.
Yang terpenting aku suka memanggilnya busuk dan ia tak pernah marah kupanggil
busuk. Anehnya aku dipanggil si eneng ataupun buruk tetap bisa diterima dan nyaman
di telingaku. Apapun yang terjadi, Juna is
the best friend.
“An,
dipanggil ke ruang Waka!” datang Juna memberitahu.
“Kenapa,
Jun?” ku kerutkan keningku.
“Kagak
tahu aku neng langsung datang ke Waka aja,” Juna memberi saran.
“Ok.
Terima kasih, Juna busuk,” Aku pun beranjak pergi.
Berdiri di depan ruang Waka melihat banyak
guru yang berkumpul disana. Aku merasa sesuatu aneh terjadi, segera kubalikkan
badan dan berlari menghampiri Juna yang masih duduk manis di depan kelas.
“Siapa
yang panggil saya, Juna busuk?” kucubit pipi kempot Juna tanpa fikir panjang.
“Sabar,
Neng, nafasnya enak diatur dulu! huh..huh..huh..,”sambil memperagakan nafas
Anfa yang berkejar – kejaran.
“Udah
ah, nggak lucu,”seraya kuberikan muka sangar.
“Takut,
Neng, maaf!” memasang muka memelas.
Juna
masih merengek meminta maaf, terdengar suara dari TOA yang berada di atas pintu
sudut kanan.
“Diberitahukan
kepada nama-nama siswa berikut ini agar segera berkumpul di ruang Waka : Anfa
Aulya Fajar XI Bahasa, Arjuna Rahadian XI IPA 3, Kamelia Zahara XI
IPS 2, dan Nurwahid XI Agama. Terimakasih.”
“
Na...,” tangan Juna refleks menunjuk muka cemberutku.
“
Iya..iya.. yuk serempak aja,” ajakku merasa bersalah.
Beberapa
menit kemudian mereka kembali ke kelas masing-masing. Mereka sebagai jurnalis
sekolah diwajibkan untuk membuat sebuah naskah cerpen yang akan dimuat di Media
Rafless, salah satu koran sekolah disekolahku. Deadline tanggal 15 Mei. Baik aku ataupun Juna berlomba untuk
secepat mungkin menyelesaikan tugas ini.
Dan
hari ini aku mulai menuliskan apa yang ada dalam fikiran tetap terkendali pada
tema yang ditentukan. Tentang mimpi-mimpi yang harus terwujud atau target yang
akan dicapai sepuluh tahun ke depan. Tanpa fikir panjang, beberapa kalimat
telah tersusun menjadi beberapa paragraf. Setidaknya sudah ada yang bisa
disombongkan kepada Juna esok pagi.
Bunda
dan Ayah memberi dorongan penuh untukku. Mereka meyakinkan aku akan menjadi
penulis besar nantinya. Mereka selalu ada dibelakang layar, tanpa mereka tak
mungkin aku bisa tersenyum setiap kali melihat hasil tulisanku. Aku bahagia
mareka ada di sampingku, melengkapi setiap deru nafas ini.
Sejenak
berfikir dan berkhayal, untuk saat ini aku ingin tetap istiqomah di jalan Allah
SWT, mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikanNYA, tanpa DIA tak akan ada
alur cerita ini. Beliau Maha segalanya, dan aku tak ingin melewatkan sedetik
pun bernafas tanpa Rabbku. Aku bahagia menjadi seorang muslimah.
Target
ini berhubungan erat dengan dunia yang aku geluti kurang lebih 8 tahun. Namun
baru awal tahun 2013 ini naskah novel perdana saya selesai. Untuk itu saya
mempunyai harapan penuh novel ini dapat bersaing dengan novel-novel bestseller
di pasaran. Karena dengan nama saya tercantum di cover depan novel
tersebut menjadi suatu pembuktian bahwa saya adalah seorang penulis.
Argh...terasa dunia bersahabat.
Tangan
masih asyik menari-nari di atas keyboard, suara azan magrib berkumandang. Bunda
menyuruhku untuk menghentikan terlebih dahulu kegiatan dan mengajakku shalat
berjama’ah. Segera kusimpan file
tulisan saya lalu kututup laptop sementara. Mengambil wudhu dan segera menyusul
ke musola kecil di rumah. Ayah sudah
duduk berzikir sambil menunggu kami. Kegiatan rutin keluarga kami untuk
melaksanakan shalat berjama’ah. Sehingga janggal jika tidak melaksanakan
rutinitas ini.
Kutengadahkan
tangan memohon kepada Rabbku yang Maha Tinggi, memohon agar dihapus dosa yang
berselimut di seluruh kujur tubuh ini dan keluarga hamba, lindungi keluarga
hamba dari segala mara bahaya, diberikan rizki yang berlimpah untuk menunjang
kehidupan yang layak, diberikan kesempatan untuk menjadi seorang penulis dari
naskah novel perdana yang alhamdulillah
telah rampung digarap, dan menjadikan perjalanan ini sebagai ladang amal untuk
kehidupan di akhirat nanti. Amiin.
Usai
shalat magrib Bunda mengajak kami untuk makan malam bersama. Sudah lama tidak
makan malam bersama karena kesibukan ayah yang mengharuskan bermalam di luar
kota. Makan malam sambil ayah bercerita tentang keindahan kota Jogjakarta dan
pengalaman-pengalaman menarik di Kota Jogjakarta. Keakraban tercipta mengalir
dengan momen-momen singkat seperti ini. Diantara riuh ayah bercerita, handphone saya berdering semakin kuat.
Kuambil
handphone tersebut dan kuangkat telfon dari si busuk Juna.
“Assalamu’alaikum,”
kubuka percakapan via telepon.
“Wa’alaikumussalam.
Lagi apa, An?” suara jelas Juna bertanya.
“Lagi
makan malam, Juna busuk, ada apa?”
“Kagak
ada, besok ada acara nggak pulang sekolah?”
“Hah...
itukan bisa dibicarakan besok nggak usah nelfon juga kali,”jelas Anfa gregetan.
“Nggak
papa kali, besok mau kemana, neng?”
“Nggak
kemana-mana sih, mau ngajak kemana?”
“Kok
tahu gua mau ngajak pergi?” Juna cengar-cengir.
“Anfa
.. makan dulu nak.” bunda memanggilku untuk segera melanjutkan makan.
“Iya
bun,” kujawab lantang.
“Hem...
memang gua berkawan ma lu baru kemarin sore apa? Udah buruan mau kemana? Saya
masih makan malam ni,” aku mendesaknya.
“Maaf,
Neng, ke perpustakaan daerah yuk! Kita nulis di bawah pohon besar depan itu,
Neng!” Juna mengutarakan ajakannya.
“Boleh,”
jawabku datar.
“Mau
kan, Neng?”
“Boleh.
Sampai ketemu lagi besok, Juna busuk, aku lanjut makan lagi ya!
Assalamu’alaikum,”kututup percakapan sebelum Juna menjawab salamku.
Bunda
paling tidak suka ada yang mengganggu makan bersamanya. Untuk itu, aku sering
sekali mendapat hadiah jelitan dari bunda. Ayah pun juga begitu. Menghargai
kebersamaan walaupun hanya sebatas makan bersama di meja makan. Karena belum
tentu setiap kali makan mendapatkan kesempatan untuk makan bersama.
Keesokan
harinya aku dan Juna duduk di bawah pohon beringin depan perpustakaan. Sambil
mengotak-ngatik keyboard. Sesekali ia melihat kesibukkan Juna yang berada di
sampingnya. Ia terlihat berkonsentrasi penuh sehingga tak lagi teringat jika
botol fanta sudah berpindah tempat ke tanganku. Tangannya bergerak mencari-cari
tanpa melihatnya. Anfa tersenyum seketika melihat aksi Juna tersebut.
“Buruk,
“kupanggil Juna.
“Hmm,”Juna
tak memberi jawaban yang memuaskan.
“Buruk,
Juna busuk,”kuulangi lagi.
“Hmmmm,”masih
dengan jawaban semula.
Melihat
tak reaksi yang berarti aku mulai menggunakan tangannya untuk menyadarkan Juna
dengan mengacak-acak rambutnya.
“Stop bawel..!” Juna geram.
Dan
aku pun menghentikan aksi dan memasang wajah tak berbentuk.
“Ok,
kenapa bawel?” Juna menelan ludah.
“Anfa
mau cerita tapi kamunya nggak mau dengar,” kesal.
“Cerita
apa? Mau dengar kok. Buruan cerita!” Juna dengan sabar membujuk Anfa.
“Jun,
Anfa itu pengen banget mau jadi penulis. Juna mau jadi apa nanti?” Anfa mulai
serius.
“Juna
mau jadi editor novel. Boleh nanya nggak, apa target Anfa 10 tahun nanti?”
“Anfa
cerita sama Juna aja ya, jangan kasih tahu yang lain.”
“Ok
bawel.”
“Target 10 tahun ke depan Anfa dimulai pengen jadi seorang penulis aktif dan editor novel di Forum
Lingkar Pena, mengantarkan Ayah sama Bunda ke tanah suci dengan hasil pemikiran
Anfa sendiri,”
kuhela nafas.
“Subhanallah.
Kalau boleh tahu, apa target Anfa dalam waktu dekat ini?” Juna bak wartawan
ulung.
“Anfa
insya Allah pengen tetap istiqomah di jalan Allah, terbit novel perdana tahun
ini dan launching novel perdana di
Ponpes Al-Hasanah tempat Anfa dulu menimba ilmu, Busuk.”
“Lho
kok di pondok kenapa nggak di sekolah kita aja?” Juna memotong paparan Anfa.
“Karena
sebagian dari isi novel perdana Anfa tentang pondok dan Anfa merindukan suasana
pondok, Busuk. Pondokku Surgaku.”
“Gitu
ya? Lanjutkan ceritanya! Penasaran saya.”
“Anfa
harus masuk 3 besar minimal nilai rata-rata raport 79, menulis novel kedua dan
aktif mengikuti lomba-lomba tentang kepenulisan, lulus dengan nilai minimal 88
supaya bisa kuliah tanpa tes di Universitas Gajah Mada Fakultas Sastra Indonesia dan Ilmu Kebudayaan. Egh Juna
jangan sok fokus gitu donk!” aku pun membuyarkan konsentrasi Juna mendengarkan
targetnya.
Juna
tersenyum.
“Ayo
lanjutkan, Bawel,” Juna masih penasaran dengan ending nya.
“Jangan
sok akrab gitu ya! Grogi tahu,” bersiap melanjutkan ceritanya.
Juna
mengangguk paham.
“Busuk,
mau nggak gabung di Forum Lingkar Pena?” kulempar pertanyaan.
“Pengen
banget. Pengennya pakai banget, Bawel. Pengen jadi editor handal disana. Sebelum novel-novel bawel terbit, aku sudah
baca terlebih dahulu. Anfa mau juga?” Juna menjawab tanpa fikir panjang.
“Mau,
Busuk. Itu salah satu target aku kalau Juna mau tahu.”
“Mau
tahu kok tenang aja, Bawel. Target Anfa apalagi?” Juna masih siaga.
“Pengen
punya Rumah Tulis yang di dalamnya punya kegiatan menulis, rumah produksi yang
menampung kretifitas penulis-penulis muda dan punya perpustakaan yang menampung
karya-karya Anfa sendiri.”
“Keliling
Indonesia. Ya, Anfa pengen banget keliling di negara sendiri. Karena Anfa yakin
bisa dapat inspirasi tersendiri untuk menulis dari setting indah di negara sendiri. Kagak bangga dengan negara orang,
kalau negara sendiri belum tahu keindahannya lebih dari negara lain,” sambil
memilin – milin jilbabnya.
“Aku
bangga jadi anak Indonesia,” Juna berkomentar tanpa memindahkan posisi tepat
duduknya.
“Yee..aku
juga bangga kali. Lanjut nggak?” ikut berkomentar.
“Silahkan,
Bawel!”
“Target
selanjutnya Anfa Aulya Fajar binti Prasetyo harus lulus dari UGM tepat waktu
dengan IPK minimal 3,99. Dan bisa langsung menjadi karyawan tetap di Forum
Lingkar Pena seperti yang selama ini aku idamkan,” menggebu – gebu.
“Ok.
Kita satu tempat kerja nanti ya, Bawel.”
“Aku
setuju. Nanti kalau aku punya pemasukan
10 juta per bulan kamu akan sering dapat makan gratis.”
“Asyik..
Yakin nggak?”
“Yakin
donk. Kamu mau nggak?” mulai memainkan kedua matanya.
“Iya,
Bawel. Matanya dah mulai genit ya
sekarang,” seraya berkomentar melihat Anfa memainkan matanya.
“Kagak
Juna, biasa aja kok, “ pasang muka manyun.
“Iya,,iya..
Duitnya dipakai untuk apalagi? “ Juna berusaha menetralkan suasana.
“Dipakai
buat kuliahkan Dufa sampai selesai biar Ayah nggak kerja. Sudah saatnya Ayah
istirahat. Anfa nggak mau Ayah capek, giliran si sulung cari uang.”
Juna
memandangi wajah Anfa yang terlihat tulus ingin mengambil alih kewajiban
ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Ia tersipu dengan semua tutur manis
gadis manja ini. Ingin kehidupan yang akan datang lebih indah dari yang ia
bayangkan. Tanpa ia sadari Anfa adalah sosok yang menginspirasi dalam hidupnya.
Keseharian Juna lebih baik setelah mengenal gadis sulung yang manja ini, Anfa
Aulya Fajar.
“Kalau
Anfa udah kerja habis dong ceritanya ya?” Juna mencoba menebak.
“Siapa
bilang? Kalau udah 25 tahun akan menunaikan kewajiban Anfa menjadi seorang
wanita. Menikah dengan ikhwan pilihan,”mataku memandang langit.
“Berarti
bukan dengan Juna ya, Bawel ?” sahut Juna.
“Kenapa?
Juna mau nikah sama Anfa? Kalau kita jodoh nggak akan kemana kok, tenang aja,”
mengangguk seraya menatap Juna.
“Amin
Ya Rabb,” Juna bertengadah.
“Ok.
Lanjut ya. Anfa kan tadi udah ya keliling Indonesia ntar kalau udah nikah
giliran keliling dunia bareng suami. Pulang dari traveling with partner, langsung traveling rohani ke tanah suci bareng ayah bunda,” tersenyum puas.
“Jadi
sekarang temanya traveling ya? Kapan
kita bisa kumpul-kumpul lagi kalau Anfa udah sibuk?” Juna memasang muka
memelas.
“Nah
ini waktu yang tepat untuk kita bareng-bareng lagi, Anfa pengen reunian akbar
di perpustakaan Anfa bareng sahabat-sahabat tersayang termasuk kamu. Kumpul-kumpul
cerita tentang kesuksesan kita masing-masing,” aku berusaha mengajak Juna
berkhayal.
“
Ckckckk..Cerita tentang anak-anak kita nantinya,”Juna tertawa.
“
Iya. Lucu kayaknya nanti. Busuk, gendong anak
umur 2 tahun, istri Busuk gendong anak yang baru 3 bulan disebelah istri
Busuk anak yang umurnya 1 tahun,” aku pun ikut tertawa.
“Dasar
banget ya kamu ini!” Juna memukul-mukul kursi sebelahnya.
“Papa...papa
kakak mau es krim! Mama...mama adik mau ikan itu!” memperagakan anak-anak Juna
nanti.
“Mamanya
lagi bujuk si bungsu yang lagi rewel,” sambut Juna.
Keduanya
tertawa puas. Berkhayal tanpa batas. Saling melempar dedaunan yang jatuh
diantara kami. Indahnya sebuah persahabatan. Karena keindahannya tak akan
terbayar dengan rupiah ataupun dolar sekalipun. Tanpa disadari lagi hakikat
sebuah pertemuan adalah berakhir dengan sebuah perpisahan. Ketika ada pertemuan
melupakan perpisahan, ketika ada perpisahan merindukan pertemuan.
“Bentar,
ending dari rentetan cerita Anfa tadi
pengen meninggal dengan husnul khotimah,” membisu.
“Ending nya jangan meninggal dong,” Juna
berubah ekspresi.
“Aku
sudah terlalu lelah menjalani kehidupan ini. Karena semuanya telah aku
ungkapkan sebagai keindahan yang tak terbayar,” tersenyum simpul.
“Jangan
berubah sad ending, Bawel. Sedih saya
dengarnya,” muka Juna bertambah kusut.
“
Dorrr. Ckckckkc... Juna ketahuan nggak mau pisah sama Anfa,”aku pun tertawa
lepas.
Juna
yang merasa terkena tipuanku tak mau tinggal diam. Ia mengejar Anfa
mengelilingi seantero perpustakaan daerah. Semua mata tertuju kepada mereka.
Sebelum Juna mendapati Anfa kelelahan, ia tak berhenti mengejarnya. Saat
berlari ke arah belakang perpustakaan, kaki kiri Anfa terpeleset ke dalam
lubang sehungga ia merintih kesakitan.
Dari
kejauhan Juna tertawa melihat kondisi Anfa tersebut. Ia merasa Anfa kalah. Juna
berjalan perlahan kemudian berlari setelah mengetahui Anfa sedang meringis
kesakitan kala itu. Membantu kaki Anfa
keluar dari lubang tersebut dan mencoba memijat kakinya untuk mengurangi rasa
sakit. Setelah dirasa membaik Anfa bertanya kepada Juna, siapa yang akan
menjadi wanita terbaik mendampinginya.
Jawab
Juna enteng,” Kamu. Kamu adalah separuh dari nafasku.”
Anfa
tersenyum manis. Bagi Anfa, Juna adalah sebagian dari hidupnya. Menjalani suka
duka kehidupan bersamanya adalah salah satu target harus dicapainya. Karena
sebagian hidupnya bersama dengannya. Tempat ia berbagi cerita tempat berkeluh
kesah, sang pahlawan kesiangan, dan si buruk pendengar setia.
Kehidupan akan terasa indah jika mempunyai
tujuan dan prinsip yang jelas. Karena mereka akan menjadi pacuan hidup ini.
Bermimpi dari hal-hal terdekat dan terkecil karena semua itu berawal dari
mimpi, toh mimpi itu gratis. Setelah bermimpi, pasang aksi yakin, berusaha dan
berdo’a agar mimpinya tak sekedar fiktif belaka.
Aku
dan Juna datang ke sekretariat Media Raffles untuk menyerahkan cerpen sebagai
tugas minggu ini. Mereka menjadi penyetor cerpen pertama. Coordinator cerpen
tersenyum puas setelah melihat cerpen mereka berdua. Keputusan penerbitannya
akan diumumkan esok hari kemudian sehingga mereka harus cukup bersabar
menunggunya.
Keesokannya
aku sengaja datang lebih pagi dari sebelumnya, di gerbang aku bertemu Ibu
Rahmah yang memberikan ucapan selamat dan mendo’akan menjadi seorang penulis
hebat nantinya. Amin, beliau adalah pengawas Media Raffles. Pagi ini, aku sudah
mendapat do’a sebagai semangat tersendiri menjalani aktivitas hari ini. Ku
lanjutkan langkah menuju ruang kelas ku yang tak jauh dari gerbang.
Sesampainya
di ruang kelas, ku dapati sebuah bingkisan berwarna hijau dan sebuah koran
Media Raffles diatas mejaku. Dikoran tersebut tertera Anfa Aulya Fajar di
samping judul cerpen ” Sepuluh Tahun Nanti “ yang dilingkari dengan spidol
merah.
“Itu
nama saya,”gumamku dalam hati.
Aku
bergegas membuka bingkisan hijau tersebut. Perlahan namun pasti tangan ini
gemetar tak sabar ingin mengetahui apa isi bingkisan hijau yang sebenarnya aku
pun tak mengetahui siapa pengirimnya.
“Hah.
Terbuka juga,”sedikit lega.
Kuberanikan
membuka mata dan ternyata sebuah bingkai foto berisi foto-foto lucuku dan Juna
kemarin sore. Aksi-aksi tak berbobot. Aku pun tertawa puas dengan kejutan pagi
ini.
“Siapa
yang berani jadi fotografer ulung kemarin ya ?”fikir kubuntu.
Dari
balik pintu Juna datang dan berkata, “ ada fotografer suruhan aku Neng bukan siapa-siapa kok.”
Juna
datang bersama Rudi sang kameramen sekolahku. Keduanya sudah bekerjasama untuk
melakukan aksi ini dan ternyata hari ini adalah moment yang tepat dimana cerpen
Anfa diterbitkan di koran sekolah, Media Raffles. Dan inilah kejutan awal dari
sebuah perjuangan hebat. Selamat Anfa Aulya Fajar.
Bengkulu,
29 Mei 2013

Tidak ada komentar:
Posting Komentar