Rabu, 07 Agustus 2013

Sepuluh Tahun Nanti


Anfa Aulya Fajar. Nama yang tercantum di AKTE kelahiranku. Duduk dibangku Madrasah Aliyah membuat aku tak lagi pantas menjadi  sosok yang ditimang-timang lagi ketika menangis. Dua bulan dua puluh hari yang akan datang umurku sudah menginjak 17 tahun, yang kata orang umur punya KTP dan mulai menginjak masa dewasa. Tapi sepertinya hanya perasaan saja, aku belum cukup umur jika mengatakan dewasa.
Baiklah, seringkali ditanya apa yang akan dilakukan nanti kata Bunda . Aku dengan lantang menjawab, “aku ingin menulis perjalanan hidupku dan menceritakan semua teman-teman terbaik dalam alur tersebut. Karena aku bangga dapat hidup diantara mereka.”
Bunda tersenyum seolah tak percaya melihat aku bersemangat menjawab pertanyaannya. Sambil mengelus kepalaku, beliau berkata,”Rangkailah huruf-huruf menjadi kalimat yang indah, sayang.”
Suatu motivasi besar ketika mama memberi do’a dan restu kepadaku. Walaupun benar, tak ada dari garis keturunan keluarga yang memegang predikat penulis ataupun alasan besar tentang masa depan seorang penulis itu suram, tidak pasti, dan pendapat-pendapat lain yang sebenarnya saya tak bisa terima. Namun, jika protes itu hanya berkoar dibalut emosi tentu saja tidak mendatangkan kebaikan dan tak mampu merubahnya.
Bersahabat dengan Juna sejak pertama kali masuk SMA. Keakrabanku dengannya tak diragukan lagi. Lelaki itu sering kupanggil busuk, tak tahu bagaimana awal muasalnya. Yang terpenting aku suka memanggilnya busuk dan ia tak pernah marah kupanggil busuk. Anehnya aku dipanggil si eneng ataupun buruk tetap bisa diterima dan nyaman di telingaku. Apapun yang terjadi, Juna is the best friend.
“An, dipanggil ke ruang Waka!” datang Juna memberitahu.
“Kenapa, Jun?” ku kerutkan keningku.
“Kagak tahu aku neng langsung datang ke Waka aja,” Juna memberi saran.
“Ok. Terima kasih, Juna busuk,” Aku pun beranjak pergi.
 Berdiri di depan ruang Waka melihat banyak guru yang berkumpul disana. Aku merasa sesuatu aneh terjadi, segera kubalikkan badan dan berlari menghampiri Juna yang masih duduk manis di depan kelas.
“Siapa yang panggil saya, Juna busuk?” kucubit pipi kempot Juna tanpa fikir panjang.
“Sabar, Neng, nafasnya enak diatur dulu! huh..huh..huh..,”sambil memperagakan nafas Anfa yang berkejar – kejaran.
“Udah ah, nggak lucu,”seraya kuberikan muka sangar.
“Takut, Neng, maaf!” memasang muka memelas.
Juna masih merengek meminta maaf, terdengar suara dari TOA yang berada di atas pintu sudut kanan.
“Diberitahukan kepada nama-nama siswa berikut ini agar segera berkumpul di ruang Waka : Anfa Aulya Fajar XI Bahasa, Arjuna Rahadian XI IPA 3, Kamelia Zahara XI IPS 2, dan Nurwahid XI Agama. Terimakasih.”
“ Na...,” tangan Juna refleks menunjuk muka cemberutku.
“ Iya..iya.. yuk serempak aja,” ajakku merasa bersalah.
Beberapa menit kemudian mereka kembali ke kelas masing-masing. Mereka sebagai jurnalis sekolah diwajibkan untuk membuat sebuah naskah cerpen yang akan dimuat di Media Rafless, salah satu koran sekolah disekolahku. Deadline tanggal 15 Mei. Baik aku ataupun Juna berlomba untuk secepat mungkin menyelesaikan tugas ini.
Dan hari ini aku mulai menuliskan apa yang ada dalam fikiran tetap terkendali pada tema yang ditentukan. Tentang mimpi-mimpi yang harus terwujud atau target yang akan dicapai sepuluh tahun ke depan. Tanpa fikir panjang, beberapa kalimat telah tersusun menjadi beberapa paragraf. Setidaknya sudah ada yang bisa disombongkan kepada Juna esok pagi.
Bunda dan Ayah memberi dorongan penuh untukku. Mereka meyakinkan aku akan menjadi penulis besar nantinya. Mereka selalu ada dibelakang layar, tanpa mereka tak mungkin aku bisa tersenyum setiap kali melihat hasil tulisanku. Aku bahagia mareka ada di sampingku, melengkapi setiap deru nafas ini.
Sejenak berfikir dan berkhayal, untuk saat ini aku ingin tetap istiqomah di jalan Allah SWT, mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikanNYA, tanpa DIA tak akan ada alur cerita ini. Beliau Maha segalanya, dan aku tak ingin melewatkan sedetik pun bernafas tanpa Rabbku. Aku bahagia menjadi seorang muslimah.
Target ini berhubungan erat dengan dunia yang aku geluti kurang lebih 8 tahun. Namun baru awal tahun 2013 ini naskah novel perdana saya selesai. Untuk itu saya mempunyai harapan penuh novel ini dapat bersaing dengan novel-novel bestseller  di pasaran. Karena dengan nama saya tercantum di cover depan novel tersebut menjadi suatu pembuktian bahwa saya adalah seorang penulis. Argh...terasa dunia bersahabat.
Tangan masih asyik menari-nari di atas keyboard, suara azan magrib berkumandang. Bunda menyuruhku untuk menghentikan terlebih dahulu kegiatan dan mengajakku shalat berjama’ah. Segera kusimpan file tulisan saya lalu kututup laptop sementara. Mengambil wudhu dan segera menyusul ke musola kecil di rumah.  Ayah sudah duduk berzikir sambil menunggu kami. Kegiatan rutin keluarga kami untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Sehingga janggal jika tidak melaksanakan rutinitas ini.
Kutengadahkan tangan memohon kepada Rabbku yang Maha Tinggi, memohon agar dihapus dosa yang berselimut di seluruh kujur tubuh ini dan keluarga hamba, lindungi keluarga hamba dari segala mara bahaya, diberikan rizki yang berlimpah untuk menunjang kehidupan yang layak, diberikan kesempatan untuk menjadi seorang penulis dari naskah novel perdana yang alhamdulillah telah rampung digarap, dan menjadikan perjalanan ini sebagai ladang amal untuk kehidupan di akhirat nanti. Amiin.
Usai shalat magrib Bunda mengajak kami untuk makan malam bersama. Sudah lama tidak makan malam bersama karena kesibukan ayah yang mengharuskan bermalam di luar kota. Makan malam sambil ayah bercerita tentang keindahan kota Jogjakarta dan pengalaman-pengalaman menarik di Kota Jogjakarta. Keakraban tercipta mengalir dengan momen-momen singkat seperti ini. Diantara riuh ayah bercerita, handphone saya berdering semakin kuat.
Kuambil handphone tersebut dan kuangkat telfon dari si busuk Juna.
“Assalamu’alaikum,” kubuka percakapan via telepon.
“Wa’alaikumussalam. Lagi apa, An?” suara jelas Juna bertanya.
“Lagi makan malam, Juna busuk, ada apa?”
“Kagak ada, besok ada acara nggak pulang sekolah?”
“Hah... itukan bisa dibicarakan besok nggak usah nelfon juga kali,”jelas Anfa gregetan.
“Nggak papa kali, besok mau kemana, neng?”
“Nggak kemana-mana sih, mau ngajak kemana?”
“Kok tahu gua mau ngajak pergi?” Juna cengar-cengir.
“Anfa .. makan dulu nak.” bunda memanggilku untuk segera melanjutkan makan.
“Iya bun,” kujawab lantang.
“Hem... memang gua berkawan ma lu baru kemarin sore apa? Udah buruan mau kemana? Saya masih makan malam ni,” aku mendesaknya.
“Maaf, Neng, ke perpustakaan daerah yuk! Kita nulis di bawah pohon besar depan itu, Neng!” Juna mengutarakan ajakannya.
“Boleh,” jawabku datar.
“Mau kan, Neng?”
“Boleh. Sampai ketemu lagi besok, Juna busuk, aku lanjut makan lagi ya! Assalamu’alaikum,”kututup percakapan sebelum Juna menjawab salamku. 
Bunda paling tidak suka ada yang mengganggu makan bersamanya. Untuk itu, aku sering sekali mendapat hadiah jelitan dari bunda. Ayah pun juga begitu. Menghargai kebersamaan walaupun hanya sebatas makan bersama di meja makan. Karena belum tentu setiap kali makan mendapatkan kesempatan untuk makan bersama.
Keesokan harinya aku dan Juna duduk di bawah pohon beringin depan perpustakaan. Sambil mengotak-ngatik keyboard. Sesekali ia melihat kesibukkan Juna yang berada di sampingnya. Ia terlihat berkonsentrasi penuh sehingga tak lagi teringat jika botol fanta sudah berpindah tempat ke tanganku. Tangannya bergerak mencari-cari tanpa melihatnya. Anfa tersenyum seketika melihat aksi Juna tersebut.
“Buruk, “kupanggil Juna.
“Hmm,”Juna tak memberi jawaban yang memuaskan.
“Buruk, Juna busuk,”kuulangi lagi.
“Hmmmm,”masih dengan jawaban semula.
Melihat tak reaksi yang berarti aku mulai menggunakan tangannya untuk menyadarkan Juna dengan mengacak-acak rambutnya.
Stop bawel..!” Juna geram.
Dan aku pun menghentikan aksi dan memasang wajah tak berbentuk.
“Ok, kenapa bawel?” Juna menelan ludah.
“Anfa mau cerita tapi kamunya nggak mau dengar,” kesal.
“Cerita apa? Mau dengar kok. Buruan cerita!” Juna dengan sabar membujuk Anfa.
“Jun, Anfa itu pengen banget mau jadi penulis. Juna mau jadi apa nanti?” Anfa mulai serius.
“Juna mau jadi editor novel. Boleh nanya nggak, apa target Anfa 10 tahun nanti?”
“Anfa cerita sama Juna aja ya, jangan kasih tahu yang lain.”
“Ok bawel.”
“Target 10 tahun ke depan Anfa dimulai pengen jadi seorang penulis aktif dan editor novel di Forum Lingkar Pena, mengantarkan Ayah sama Bunda ke tanah suci dengan hasil pemikiran Anfa sendiri,” kuhela nafas.
“Subhanallah. Kalau boleh tahu, apa target Anfa dalam waktu dekat ini?” Juna bak wartawan ulung.
“Anfa insya Allah pengen tetap istiqomah di jalan Allah, terbit novel perdana tahun ini dan launching novel perdana di Ponpes Al-Hasanah tempat Anfa dulu menimba ilmu, Busuk.”
“Lho kok di pondok kenapa nggak di sekolah kita aja?” Juna memotong paparan Anfa.
“Karena sebagian dari isi novel perdana Anfa tentang pondok dan Anfa merindukan suasana pondok, Busuk. Pondokku Surgaku.”
“Gitu ya? Lanjutkan ceritanya! Penasaran saya.”
“Anfa harus masuk 3 besar minimal nilai rata-rata raport 79, menulis novel kedua dan aktif mengikuti lomba-lomba tentang kepenulisan, lulus dengan nilai minimal 88 supaya bisa kuliah tanpa tes di Universitas Gajah Mada Fakultas Sastra  Indonesia dan Ilmu Kebudayaan. Egh Juna jangan sok fokus gitu donk!” aku pun membuyarkan konsentrasi Juna mendengarkan targetnya.
Juna tersenyum.
“Ayo lanjutkan, Bawel,” Juna masih penasaran dengan ending nya.
“Jangan sok akrab gitu ya! Grogi tahu,” bersiap melanjutkan ceritanya.
Juna mengangguk paham.
“Busuk, mau nggak gabung di Forum Lingkar Pena?” kulempar pertanyaan.
“Pengen banget. Pengennya pakai banget, Bawel. Pengen jadi editor handal disana. Sebelum novel-novel bawel terbit, aku sudah baca terlebih dahulu. Anfa mau juga?” Juna menjawab tanpa fikir panjang.
“Mau, Busuk. Itu salah satu target aku kalau Juna mau tahu.”
“Mau tahu kok tenang aja, Bawel. Target Anfa apalagi?” Juna masih siaga.
“Pengen punya Rumah Tulis yang di dalamnya punya kegiatan menulis, rumah produksi yang menampung kretifitas penulis-penulis muda dan punya perpustakaan yang menampung karya-karya Anfa sendiri.”
“Keliling Indonesia. Ya, Anfa pengen banget keliling di negara sendiri. Karena Anfa yakin bisa dapat inspirasi tersendiri untuk menulis dari setting indah di negara sendiri. Kagak bangga dengan negara orang, kalau negara sendiri belum tahu keindahannya lebih dari negara lain,” sambil memilin – milin jilbabnya.
“Aku bangga jadi anak Indonesia,” Juna berkomentar tanpa memindahkan posisi tepat duduknya.
“Yee..aku juga bangga kali. Lanjut nggak?” ikut berkomentar.
“Silahkan, Bawel!”
“Target selanjutnya Anfa Aulya Fajar binti Prasetyo harus lulus dari UGM tepat waktu dengan IPK minimal 3,99. Dan bisa langsung menjadi karyawan tetap di Forum Lingkar Pena seperti yang selama ini aku idamkan,” menggebu – gebu.
“Ok. Kita satu tempat kerja nanti ya, Bawel.”
“Aku setuju. Nanti kalau aku punya  pemasukan 10 juta per bulan kamu akan sering dapat makan gratis.”
“Asyik.. Yakin nggak?”
“Yakin donk. Kamu mau nggak?” mulai memainkan kedua matanya.
“Iya, Bawel. Matanya dah mulai genit ya sekarang,” seraya berkomentar melihat Anfa memainkan matanya.
“Kagak Juna, biasa aja kok, “ pasang muka manyun.
“Iya,,iya.. Duitnya dipakai untuk apalagi? “ Juna berusaha menetralkan suasana.
“Dipakai buat kuliahkan Dufa sampai selesai biar Ayah nggak kerja. Sudah saatnya Ayah istirahat. Anfa nggak mau Ayah capek, giliran si sulung cari uang.”
Juna memandangi wajah Anfa yang terlihat tulus ingin mengambil alih kewajiban ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Ia tersipu dengan semua tutur manis gadis manja ini. Ingin kehidupan yang akan datang lebih indah dari yang ia bayangkan. Tanpa ia sadari Anfa adalah sosok yang menginspirasi dalam hidupnya. Keseharian Juna lebih baik setelah mengenal gadis sulung yang manja ini, Anfa Aulya Fajar.
“Kalau Anfa udah kerja habis dong ceritanya ya?” Juna mencoba menebak.
“Siapa bilang? Kalau udah 25 tahun akan menunaikan kewajiban Anfa menjadi seorang wanita. Menikah dengan ikhwan pilihan,”mataku memandang langit.
“Berarti bukan dengan Juna ya, Bawel ?” sahut Juna.
“Kenapa? Juna mau nikah sama Anfa? Kalau kita jodoh nggak akan kemana kok, tenang aja,” mengangguk seraya menatap Juna.
“Amin Ya Rabb,” Juna bertengadah.
“Ok. Lanjut ya. Anfa kan tadi udah ya keliling Indonesia ntar kalau udah nikah giliran keliling dunia bareng suami. Pulang dari traveling with partner, langsung traveling rohani ke tanah suci bareng ayah bunda,” tersenyum puas.
“Jadi sekarang temanya traveling ya? Kapan kita bisa kumpul-kumpul lagi kalau Anfa udah sibuk?” Juna memasang muka memelas.
“Nah ini waktu yang tepat untuk kita bareng-bareng lagi, Anfa pengen reunian akbar di perpustakaan Anfa bareng sahabat-sahabat tersayang termasuk kamu. Kumpul-kumpul cerita tentang kesuksesan kita masing-masing,” aku berusaha mengajak Juna berkhayal.
“ Ckckckk..Cerita tentang anak-anak kita nantinya,”Juna tertawa.
“ Iya. Lucu kayaknya nanti. Busuk, gendong anak  umur 2 tahun, istri Busuk gendong anak yang baru 3 bulan disebelah istri Busuk anak yang umurnya 1 tahun,” aku pun ikut tertawa.
“Dasar banget ya kamu ini!” Juna memukul-mukul kursi sebelahnya.
“Papa...papa kakak mau es krim! Mama...mama adik mau ikan itu!” memperagakan anak-anak Juna nanti.
“Mamanya lagi bujuk si bungsu yang lagi rewel,” sambut Juna.
Keduanya tertawa puas. Berkhayal tanpa batas. Saling melempar dedaunan yang jatuh diantara kami. Indahnya sebuah persahabatan. Karena keindahannya tak akan terbayar dengan rupiah ataupun dolar sekalipun. Tanpa disadari lagi hakikat sebuah pertemuan adalah berakhir dengan sebuah perpisahan. Ketika ada pertemuan melupakan perpisahan, ketika ada perpisahan merindukan pertemuan.
“Bentar, ending dari rentetan cerita Anfa tadi pengen meninggal dengan husnul khotimah,” membisu.
Ending nya jangan meninggal dong,” Juna berubah ekspresi.
“Aku sudah terlalu lelah menjalani kehidupan ini. Karena semuanya telah aku ungkapkan sebagai keindahan yang tak terbayar,” tersenyum simpul.
“Jangan berubah sad ending, Bawel. Sedih saya dengarnya,” muka  Juna bertambah kusut.
“ Dorrr. Ckckckkc... Juna ketahuan nggak mau pisah sama Anfa,”aku pun tertawa lepas.
Juna yang merasa terkena tipuanku tak mau tinggal diam. Ia mengejar Anfa mengelilingi seantero perpustakaan daerah. Semua mata tertuju kepada mereka. Sebelum Juna mendapati Anfa kelelahan, ia tak berhenti mengejarnya. Saat berlari ke arah belakang perpustakaan, kaki kiri Anfa terpeleset ke dalam lubang sehungga ia merintih kesakitan.
Dari kejauhan Juna tertawa melihat kondisi Anfa tersebut. Ia merasa Anfa kalah. Juna berjalan perlahan kemudian berlari setelah mengetahui Anfa sedang meringis kesakitan kala itu.  Membantu kaki Anfa keluar dari lubang tersebut dan mencoba memijat kakinya untuk mengurangi rasa sakit. Setelah dirasa membaik Anfa bertanya kepada Juna, siapa yang akan menjadi wanita terbaik mendampinginya.
Jawab Juna enteng,” Kamu. Kamu adalah separuh dari nafasku.”
Anfa tersenyum manis. Bagi Anfa, Juna adalah sebagian dari hidupnya. Menjalani suka duka kehidupan bersamanya adalah salah satu target harus dicapainya. Karena sebagian hidupnya bersama dengannya. Tempat ia berbagi cerita tempat berkeluh kesah, sang pahlawan kesiangan, dan si buruk pendengar setia.
 Kehidupan akan terasa indah jika mempunyai tujuan dan prinsip yang jelas. Karena mereka akan menjadi pacuan hidup ini. Bermimpi dari hal-hal terdekat dan terkecil karena semua itu berawal dari mimpi, toh mimpi itu gratis. Setelah bermimpi, pasang aksi yakin, berusaha dan berdo’a agar mimpinya tak sekedar fiktif belaka.
Aku dan Juna datang ke sekretariat Media Raffles untuk menyerahkan cerpen sebagai tugas minggu ini. Mereka menjadi penyetor cerpen pertama. Coordinator cerpen tersenyum puas setelah melihat cerpen mereka berdua. Keputusan penerbitannya akan diumumkan esok hari kemudian sehingga mereka harus cukup bersabar menunggunya.
Keesokannya aku sengaja datang lebih pagi dari sebelumnya, di gerbang aku bertemu Ibu Rahmah yang memberikan ucapan selamat dan mendo’akan menjadi seorang penulis hebat nantinya. Amin, beliau adalah pengawas Media Raffles. Pagi ini, aku sudah mendapat do’a sebagai semangat tersendiri menjalani aktivitas hari ini. Ku lanjutkan langkah menuju ruang kelas ku yang tak jauh dari gerbang.
Sesampainya di ruang kelas, ku dapati sebuah bingkisan berwarna hijau dan sebuah koran Media Raffles diatas mejaku. Dikoran tersebut tertera Anfa Aulya Fajar di samping judul cerpen ” Sepuluh Tahun Nanti “ yang dilingkari dengan spidol merah.
“Itu nama saya,”gumamku dalam hati.
Aku bergegas membuka bingkisan hijau tersebut. Perlahan namun pasti tangan ini gemetar tak sabar ingin mengetahui apa isi bingkisan hijau yang sebenarnya aku pun tak mengetahui siapa pengirimnya.
“Hah. Terbuka juga,”sedikit lega.
Kuberanikan membuka mata dan ternyata sebuah bingkai foto berisi foto-foto lucuku dan Juna kemarin sore. Aksi-aksi tak berbobot. Aku pun tertawa puas dengan kejutan pagi ini.
“Siapa yang berani jadi fotografer ulung kemarin ya ?”fikir kubuntu.
Dari balik pintu Juna datang dan berkata, “ ada fotografer suruhan aku  Neng bukan siapa-siapa kok.”
Juna datang bersama Rudi sang kameramen sekolahku. Keduanya sudah bekerjasama untuk melakukan aksi ini dan ternyata hari ini adalah moment yang tepat dimana cerpen Anfa diterbitkan di koran sekolah, Media Raffles. Dan inilah kejutan awal dari sebuah perjuangan hebat. Selamat Anfa Aulya Fajar.



Bengkulu, 29 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar