_yang mengajariku bagaimana ilmu kehidupan itu_
Perkenalkan, nama lengkapnya Yusniar. Lahir di Medan, 25 November 1992.Anak bungsu dari 4 bersaudara.Ia adalah anak putri satu – satunya.Ayah berdarah jawa dan ibu berdarah batak.Karena sesuatu hal, keluarga ini berpindah ke Bengkulu, tepatnya di Batiknau desa Air Manganyau Timur.
Sejak kecil ia diasuh oleh kedua orang tuanya dengan kasih sayang dan keharmonisan tentunya.
Saat ia usianya mulai bertambah itu artinya kedua orang tuanya mulai menyekolahkannya di salah satu SD di daerah tersebut. Prestasi – prestasi mulai dirintisnya. Juara kelas setiap pembagian raport, lomba membaca puisi, lomba berpidato dan lomba – lomba lainnya.
Setelah tamat SD beliau melanjutkan sekolah menengah pertamanya di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Al – Hasanah.. Berbekal sebuah tekad yang kuat maka kedua orang tua melepaskan putri bungsunya nyantri di pondok ini. Harapannya mereka menitipkan putrinya dipondok ini untuk melatih kemandirian dan kedewasaannya walaupun ia adalah anak bungsu di keluarganya.
Layaknya seperti santri baru kebanyakkan, ia juga sering menangis ketika mengingat ayah ibunya di rumah. Ketika ia sudah beberapa bulan tinggal di pondok, sifat cengengnya berangsur hilang dan bertolak belakang. Ia ramah sehingga dengan mudah dirinya beradaptasi dengan teman – temannya.
Awal kehidupannya di pondok ia sudah mempunyai prestasi yang patut dibanggakan. Peringkat 3 besar tidak pernah lepas darinya, lomba pidato bahasa arab se-kota Bengkulu pernah ia pegang, dan karena kemahirannya dalam menggunakan bahasa wajib pondok, yaitu bahasa arab dan bahasa inggris ia dipercaya memegang jabatan sebagai sekertaris bagian bahasa di Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Al –Hasanah (OP3AH) ketika itu ia duduk di kelas 2 MTs.
Ujian datang seketika ia harus menghadapi Ujian Nasional ke-2 kalinya di MTs ini.Ayah tercintanya harus memenuhi panggilan Allah SWT mendahuluinya.Kematian ayahnya dikarenakan kecelakaan beruntun di daerahnya waktu itu. Kesedihan menyelimuti hati gadis bungsu ini, ia terpaksa harus ditinggalkan ayah tercintanya.Ia menangis sejadi – jadinya ketika dijemput oleh pamannya.
Masih tak percaya dengan kejadian yang menimpa ayahnya.
Peristiwa yang terjadi padanya tak berarti ikut mengubur semangatnya. Atas bujukan dan nasihat ibunya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, selalu berprestasi membahagiakan kedua orang tua dan berguna bagi masyarakat, membuat Yusniar kembali bangkit menjadi pribadi yang lebih baik lagi .Ia lebih cekatan, dan dewasa dalam menghadapi segala permasalahan dalam hidupnya.
Yusniar pun dinyatakan lulus Ujian Nasional Mts dan ujian dari Allah SWT. Ia tak mau susah mencari sekolah yang baik karena disini adalah sekolah yang terbaik. Melanjutkan Madrasah Aliyah di pondok ini merupakan pilihannya sendiri. Menurutnya belum cukup ilmu untuk mengarungi kehidupan di luar sana. Begitu tuturnya setiap kali ditanya teman – teman yang melanjutkan sekolah diluar sana.
Bukan hanya itu, ia menolak ajakan temannya untuk sekolah keluar kota dengan alasan tak mau jauh dari sang ibundanya. Karena ia menyadari bahwa ibunya akan selalu merindukannya jika ia berada lebih jauh lagi. Ia menjadi salah satu alumni MTs Al – Hasanah diantara 9 temannya yang melanjutkan Madrasah Aliyah di pondok pesantren ini.
Masih dengan prestasi yang melimpah. Karena persaingan yang semakin ketat, Yusniar bergeser berada pada posisi 5 besar. Peringkat tersebut tidak membuat semangatnya berhenti begitu saja, ia tak mau kekecewaan dari sang ibundanya berlanjut. Saat pemilihan anggota OP3AH, Yusniar kembali menjadi ketua bagian bahasa periode satu tahun ke depan. Disamping ia menguasai bahasa wajib pondok, ia juga telah berpengalaman memegang jabatan ini dan sifat kepemimpinan yang dimilikinya.
Bagaimana ia menguasai 2 bahasa wajib ini?? Ia selalu menuliskan kosakata yang dipakai sehari-hari untuk diterjemahkan kedua bahasa ini dan menerapkan dalam percakapan sehari – hari.Dan karena pondok mempunyai peraturan untuk selalu menggunakan bahasa wajib ini. Jika tidak mereka dan dirinya sendiri akan diberi hukuman dengan masuk mahkamah bagian bahasa. Hukuman yang diberikan pun sesuai dengan berapa kali mereka masuk mahkamah yang dibacakan 3 kali dalam seminggu. Sebagai pertanda santri yang masuk mahkamah bahasa ini, diharuskan untuk memakai jilbab merah selama masa hukumannya.
Karena keramah tamahannya dan kepandainnya, ia pun banyak dekat dengan ustad maupun ustadzah di pondok ini. Tidak terkecuali dengan pimpinan pondok, KH. Irham Hasymi, Lc. M.Pd. Sehingga dengan mudah ia bergaul dan belajar mengulang pelajaran di kelas. Tak heran jika ia menguasai pelajaran-pelajarannya.
Ustadzah – ustadzah pun sering menceritakan kemahiran berbahasa Yusniar ini kepada teman-temannya. Sehingga teman – teman ustadzah tertarik dan meminta agar Yusniar menjadi guru bahasa arabnya. Permintaan itu disampaikan kepada Yusniar, dengan senang hati ia menerima untuk berbagi ilmu dengan mereka. Dari usahanya berbagi ilmu, ia dapat mengumpulkan uang untuk membantu ibundanya dalam pembayaran SPP. Tak jarang juga ia mendapatkan jilbab, baju ataupun rok dari mereka.
Beberapa bulan ketika ia duduk di kelas XI, ia dipaksa untuk pulang kerumah oleh salah satu ustdzah terdekatnya tanpa memberi alasan yang kuat. Awalnya ia tak menghendaki paksaan tersebut. Namun karena kakak keduanya telah berada di ruang tamu untuk menjemputnya, maka ia pun ikut kakak keduanya untuk kembali ke rumah yang berada di Manganyau Timur.
Sesampainya di rumah, ia disambut dengan isak tangis sanak saudara dan bendera kuning melambai di pelataran rumah. Yusniar tertegun, ia segera masuk ke dalam rumah. Wanita yang mengandung dan melahirkannya tebaring diantara isak tangis tersebut. Diusapnya air yang jatuh dari matanya, mengambil air wudhu, diciumnya beberapa kali pipi wanita tersebut lalu diambilnya buku Yasin dan ia perlahan ia bacakan untuk sang ibunda yang telah terbaring kaku didepannya.
Yatim piatu sudah ia mulai hari itu. Sebelumnya, beberapa kali Yusniar meminta sang ibundanya untuk menjenguknya ke pondok.
Dengan berbagai alasan, ibunda tak menyanggupi permintaan anak bungsunya.Beliau tak ingin Yusniar tahu bahwa penyakit kanker payudara yang baru – baru ini diderita sedang menderanya. Namun sepekan yang lalu, dengan senyum yang indah ibundanya datang ke pondok. Sekedar mengobati rasa rindu dan melihat senyum ketegaran anaknya.
Tiga hari setelah peristiwa tersebut, Yusniar kembali ke pondok. Ia tak mau larut dalam suasana sedih. Disambut oleh keluarga besar ponpes, ia tersenyum. Tak mau menularkan kesedihan yang melandanya. Ia dengan sejuta senyum, ketegaran, kemandirian dan kedewasaan yang melekat pada dirinya. Pembawaan cueknya tak ingin ada orang yang iba melihat alur kehidupannya.
Yusniar sangat menyukai warna putih. Koleksi baju dan jilbab serba putih menghiasi lemarinya. Koleksi baju atau jilbab dengan warna lain hanya beberapa saja. Ia tak menyukai ketika melihat orang yang menunda – nunda pekerjaan dan orang yang sering membohongi dirinya sendiri ataupun orang lain.
Sosok yang tak pernah mengeluh dan teguh pendirian ini mempunyai prinsip hidup “ Belajar untuk diri sendiri, berbagi kepada semua orang , tersenyum selalu dan jangan biarkan mereka mengatakan aku sedang bersedih “.Membuat semua orang disekitarnya terus tersenyum, mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allaah SWT.
Sosok tangguh ini bercita – cita ingin menjadi dosen bahasa arab di Universitasnya sendiri yang mahasiswa – mahasiswa menyandang status yatim piatu. Tak hanya itu ia akan menjadi salah satu mahasiswi di Universitas Al – Azhar, Kairo dan menetap menjadi di Negara tersebut bersama keluarga barunya dengan alasan supaya dapat menunaikan ibadah haji kapan saja ia mau.
Lulus MA, ia mengabdi di pondok. Membantu pihak pondok untuk ikut membina santriwati. Dipercaya untuk menjadi bendahara pondok yang memegang uang SPP santriwan dan santriwati. Sapaan ukhti berganti menjadi Ustdzah Yusniar.Melanjutkan pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Bengkulu dan ia menjadi salah satu mahasiswa dijurusan .
Karena lingkungan dan sapaan yang berbeda, ia mengubah cara berpakaiannya yang terlihat lebih modis. Koleksi baju dan jilbabnya tak hanya berwarna putih. Ia mulai menyesuaikan pakaian dengan jilbabnya. Walaupun begitu, ia tetap dengan kepribadian yang meyakinkan, cuek, serius dan tetap ramah tamah. Semoga tetap menjadi pribadi yang selalu dikagumi orang – orang yang mengenal mu, Ukhti dan Ustadzahku Yusniar. :)
“ Mereka tak boleh tahu bagaimana dan siapa keluarga kita
Yang boleh mereka tahu siapa dan apa yang bisa kita lakukan kepada mereka “
_Dzah Yusniar_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar